A. Latar Belakang Masalah
Peternakan
merupakan salah satu profesi yang lazim dilakukan oleh masyarakat
pedesaan bahkan masyarakat kota sekalipun baik dikelola sendiri maupun
dipercayakan kepada orang lain dengan perjanjian membagi dari hasil
keuntungan yang diperoleh, akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah
apakah sistem dalam menjalankan proses peternakan dan cara membagi hasil
keuntungan tersebut sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Syari’ah Islam.
Karena
permasalahan yang diteliti merupakan masalahan yang biasa terjadi
dilapangan, maka desa merupakan tempat yang sangat cocok untuk dijadikan
objek observasi, desa yang dijadikan objek observasi adalah desa X
Kecamatan X, sebab desa tersebut memiliki latar belakang masalah yang
sangat menarik yaitu cara melakukan bagi hasil dalam pemeliharaan
kembing yang dilakukan secara adat istiadat dan telah berlangsung cukup
lama dan daerah tersebut merupakan daerah temapt penulis berdomisli.
Berdasarkan
hasil observasi yang penulis lakukan didesa tersebut, penulis
memperoleh data bahwa kurang lebih 60% (enam puluh persen) penduduk desa
X melakukan praktek gaduh atau bagi hasil pemeliharaan kambing yang
dilakukan secara adat atau tradisional sebagai salah satu sumber
penghasilan.
Dalam
aplikasinya ternyata sistem dan cara yang digunakan untuk membagi hasil
kambing gaduhan sangatlah menarik untuk di bahas lebih lanjut, sebab
dalam aplikasinya mereka tidak membayarnya dengan uang dari hasil
penjualan kambing tersebut, atau uang dari pemilik kambing sebagai upah
dan keuntungan yang disepakati, melainkan mereka membaginya dalam bentuk
kambing dengan perhitungan sebagai berikut : satu ekor kambing betina
dan satu ekor kambing jantan yang dipercayakan pemiliknya kepada orang
lain untuk dirawat dengan perjanjian bila kambing tersebut melahirkan
yang pertama, maka anak kambing tersebut seluruhnya milik orang yang
merawat dan memeliharanya, dengan kata lain pemilik kambing tidak
memperoleh apa-apa selama kurun waktu tersebut.
Setelah
kambing tersebut melahirkan untuk yang kedua kalinya maka anak kembing
tersebut dibagi dua yaitu yang jantan milik orang yang merawat dan
memelihara kambing tersebut dan yang betina milik orang yang
mempercayakan kambingnya untuk dirawat orang lain, dan begitu seterusnya
untuk kambing yang baru pertama kali melahirkan maka seluruh anaknya
milik orang yang merawat kambing tersebut. Dan apabila terjadi kerugian
atau ada kambing yang mati dan itu bagian milik orang yang mempercayakan
kambingnya kepada orang lain, maka kerugian tersebut ditanggung sendiri
oleh pemilik kambing atau pemilik modal.
Dari
permasalahan diatas dalam penelitian ini mencoba meninjau aplikasi
system bagi hasil hewan kambing pada desa X Kecamatan X dipandang dalam
hukum ekonomi Islam. Dalam penelitian ini data yang penulis peroleh
melalui dua cara, yaitu wawancara dan observasi serta literatur yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
B. PEMBAHASAN
Dalam
Islam akad bagi hasil gaduh kambing tersebut dikenal sebagai akad
mudharabah yang termasuk salah satu bentuk akad Syirkah atau
perkongsian, istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan
orang Hijaz menyebutnya dengan istilah Qiradh. Dengan demikian
mudharabah dan Qiradh merupakan dua istilah untuk maksud yang sama
Menurut
bahasa, Qiradh berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari
hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan hartanya
tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang
diperoleh. Bisa juga diambil dari kata Muqharaddah yang berarti
kesamaan, sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama
terhadap laba
Orang
Irak menyebutnya dengan istilah Mudharabah sebab setiap yang melakukan
akad memiliki bagian dari laba, atau pengusaha harus mengadakan
perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut. Sedangkan mudharabah
menurut istilah adalah pemilik harta atau modal menyerahkan modal
kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi
antara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati.
Apabila
rugi, hal itu ditanggung oleh pemilik modal, dengan kata lain, pekerja
tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Kerugian pengusaha hanyalah
dari segi kesungguhan dan pekerjaannya yang tidak akan mendapatkan
imbalan jika rugi, dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa modal
dapat berupa barang yang tidak dapat dibayarkan seperti rumah.
Akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (Malik, shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudharib) yang
bertindak sebagai pengelola dana dan membagi keuntungan usaha sesuai
dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian
ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal kecuali pihak kedua melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
Ulama’ fiqih sepakat
bahwa Mudharabah disyaratkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Salah satu ayat yang berkenaan dengan mudharabah
adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Muzzammil ayat 20,
sebagai berikut :
Terjemahan :“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
Berkaitan
dengan mudharabah juga terdapat dalam hadits Rasulllah Saw. Dianatara
hadits hadits yang berkaitan dengan Mudharabah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Nabi Muhammad SAW,
bersabda;
Terjemahan:
”Artinya:
tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan,
melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang
mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk
diperjual-belikan.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)
Hukum mudharabah dalam pandangan sahabat adalah Jaiz (boleh) dengan Ijma'. Rasulullah
SAW. pernah melakukan mudharabah dengan Khadijah, dengan modal
daripadanya (Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal
tersebut untuk diperdagangkan. Hal ini terjadi sebelum beliau diangkat
menjadi Rasul, pada zaman Jahiliyah, mudharabah telah ada dan setelah
datang Agama Islam, mengakuinya
Dari
hasil observasi dan data yang penulis peroleh pada desa tersebut
penulis mendapati bahwa 100% (seratus persen) masyarakat desa X
Kecamatan X pemeluk agama Islam, akan tetapi dalam melakukan aplikasi
bagi hasil atau pembagian hasil gaduh kambing yang mereka lakukan
mengalami ketimpangan dari segi jumlah pembagiannya.
Jika
melihat dari uraian di atas yang diperoleh dari keterangan penduduk
setempat dapat dikatakan bahwa hal tersebut sangat menguntungkan pihak
kedua yaitu orang yang dipercayai untuk memelihara dan merawat kambing
dari pada pemilik kambing itu sendiri.
B.1 LAPORAN PENELITIAN
Dari
hasil penelitian yang penulis peroleh, baik dari data lapangan maupun
data yang diperoleh dari perpustakaan maka penulis akan menganalisis
data tersebut, yang selanjutnya akan menjadi landasan untuk memperoleh
suatu kesimpulan. Adapun teknis analisis yang penulis kemukakan dalam
hal ini terbagi pada:
Sebab dan Kendala Yang Mendorong Terjadinya Kegiatan Usaha Gaduh Kambing
Sesuai
dengan hasil penelitian yang telah penulis dapat, bahwa masyarakat
Kelurahan X Kecamatan X Kota X berjumlah 820 Kepala Keluarga (KK),
dalam memenuhi kebutuhan hidup dan mennigkatkan perekonomian, sebagian
besar 65% (persen) mata pencarianya adalah dari hasil bertani dan
berkebun. Dari hasil usahanya tersebut terkadang belum bisa mencukupi
kebutuhan sehari-hari maupun kebituhan yang sifatnnya mendesak.
Sebagai
usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebagian besar masyarakat X
melakukan kegiatan usaha bagi hasil gaduh hewan kambing, yang merupakan
proses pemeliharaan dan perawatan tenak, dimana pemilik ternak
menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk di pelihara dan membagi
hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu. kegiatan yang mereka
jalani itu semata-mata karena tidak menyimpang dari aturan agama,
seperti yang dijelaskan firman Allah SWT dalam Al- Qur’an surat Al-
Maidah ayat 2, adalah sebagai berikut:
Terjemahan: ” ... dan
bertolong-tolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran....”
Beranjak
dari konsepsi itu, Islam mensyari’atkan dan memperbolehkan untuk
mremberi keringanan kepada manusia. Kenyataan menunjukan bahwa diantara
sebagian manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan
usaha-usaha produktif, atau memilki modal dan bisa berusaha produktif,
tetapi berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dan dengan
jalan mengalihkan sebagian usahanya dengan pihak yang memerlukan. Hal
yang demikian itu terjadi pada Masyarakat Kelurahan X yang memiliki
kemampuan untuk berternak kambing tetapi tidak mempunyai modal untuk
menjalankan usahanya. Sebenarnya, kegiatan yang mereka lakukan itu
melatar belakangi dikarenakan atas dasar tolong-menolong guna
meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup.
Pelaksanaan Kerja Sama Dalam Kegiatan Usaha Bagi Hasil Gaduh Kambing di Kelurahan X Kecamatan X Kota X
Hubungan
antara manusia sebagai individu atau sebagai anggota kelompok
masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhannya ada bermacam-macam
bentuknya, ada yang berupa jual-beli, hutang piutang, sewa menyewa,
kerja sama dan sebagainya. Dari penelitian yang penulis lakukan pada
masarakat di Kelurahan X kecamatan X Kota X, dalam memenuhui kebutuhan
hidup sehari-hari tidak cukup dengan hanya mengandalkan usaha bertani
dan berkebun saja, melainkan masyarakat setempat menjalankan usaha
lainnya yang yakni usaha kerja sama dalam ternak bagi hasil gaduh hewan
kambing, yang sudah lama dijalani oleh penduduk Kelurahan X.
Kegiatan bagi hasil dalam Islam disebut dengan syirkah mudharabah atau qirah dalam bentuk kegiataan usaha, yaitu berupa kemitraan antara modal dan tenaga, seseorang pemilik modal (shaibul maal) menyerahkan modalnya kepada pihak lain (mudharib)
untuk dikelola, dan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan dalam
perjanjian sebagaimana guna meningkatkan taraf perekonomian dan
kebutuhan hidup sehari-hari. Dasar hukum mudharabah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al- Qur’an Surat Al-Jumu’ah ayat 10, sebagai berikut:
Terjemahan : ”Apabila
Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”[8]
Bagi hasil mudharabah dari gaduh hewan kambing berdasarkan bentuk dari kegiatannya termasuk dalam bentuk mudharabah mutlaqah (mutlak) pemelihara hewan kambing (mudharib)
diberikan kebebasan dalam mengelola usaha gaduh hewan tersebut yang
bisa mendatangkan keuntungan dalam usaha tersebut tanpa dibatasi, selama
tidak menyimpang dari aturan Syari’at Islam. Dan apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan bagi hasil mudharabah maka akan mengakibatkan pelanggaran dan dosa bagi yang melakukannya.
Walaupun pada prinsipnya dalam usahanya akad mudharabah berupa
ijab dan qabul dari kedua belah pihak berdasarkan atas asas
tolong-menolong sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, tetapi pada pelaksananya tidak menutup kemungkinan antara
pemilik modal dan pengelola usaha terjadi pelanggaran atau kecurangan
dalam membagi hasil keuntungan tersebut baik dari segi material maupun
tenaga. Salah satu Hadits Rosullullah SAW Riwayat Umar. yang berkenaan
dengan mudharabah adalah:
Terjemahan:
mudharabah yaitu persekutuan antara dua orang dimana modal dari suatu
pihak dan pekerjaan dari pihak lain, sedangkan untungnnya akan dibagi
diantara mereka sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugiannya di
tanggung sendiri oleh pihak pemilik modal”
Berangkat
dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem bagi
hasil gaduh hewan kambing, berdasarkan hasil observasi yang penulis
lakukan pada Kelurahan X Kecamatan X Kota X, ternyata dalam pelaksanaan
perkongsian hewan kambing tersebut modal yang diberikan berupa barang,
yaitu sejumlah hewan kambing yang diberikan oleh pihak pemilik modal
kepada pihak kedua yang berkedudukan sebagai orang yang dipercaya untuk
memelihara kambing tersebut, kemudian membagi keuntungan dengan
perjanjian membagi anak dari hewan tersebut, atau dapat juga berupa
dalam bentuk uang dari hasil penjualan kambing, berdasarkan atas
perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Hal
demikian tentulah tidak dilarang oleh Syari’ah Islam sebab banyak
sekali sisi manfaat yang dapat di ambil dari transaksi tersebut, seperti
nilai tolong menolong antar sesama (ta’awanu) dan nilai-nilai persaudaraan (ukhuwah). Dalam pelaksanaan perikatan (akad)
juga dijelaskan mengenai resiko misalkan hewan yang dipelihara tersebut
apabila sakit atau mati maka kerugian tersebut di tanggung bersama,
apabila matinya hewan tersebut bukan karna kelalaian atau disebabkan
oleh pihak yang memelihara, jika hewan tersebut mati atau sakit
dikarenakan kelalaian pihak yang memelihara maka pihak pemilik hewan
kambing tersebut berhak meminta ganti rugi.
Melihat
uraian di atas menurut penulis pelaksanaan gaduh hewan kambing di desa X
sesuai dengan ajaran agama Islam. Namun demikian dalam pelaksanaanya
berdasarkan observasi yang penulis lakukan ternyata masih ada
kesenjangan antara teori hukum Islam dan aplikasi yang terjadi pada desa
X Kecamatan X yaitu dalam hal pemenuhan akad, seperti pertanggung
jawaban apabila hewan kambing meninnggal akibat kelalaian pihak
pemelihara ternyata banyak sekali akad yang tidak terpenuhi serta
pembagian hasil yang dapat merugikan salah satu pihak dan memerlukan
akad (perjanjian) yang lebih jelas lagi, untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan dalam akad gaduh hewan kambing.
Pandangan Hukum Islam Terhadap Konsep Akad Bagi Hasil Gaduh Kambing.
Kegiatan
usaha gaduh hewan kambing yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan X
Kecamatan X dalam pengertiannya adalah bagian dari hukum Islam di
bidang muamalah yang mengatur prilaku manusia dalam menjalankan
hubungan ekonominya, sedangkan bentuk kegiatannya dalam konsep Islam
disebut kerja sama kerja sama dalam kegiatan usaha. Dalam hal kerja sama
setidaknya ada dua istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan
perjanjian, yaitu al-’aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji).
Kegiatan
usaha gaduh kambing yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan X
Kecamatan X Kota X, pada pelaksananya terdapat konsep kerja sama yang
sudah jelas dan dibenarkan oleh syara’ selama kegiatan usaha tersebut
tidak bertentangan kepada nilai-nilai syari’at Islam. Pada konsepnya,
dimana antar individu atau kelompok manusia yang melakukan kerja sama
gaduh hewan kambing tersebut terjalin ikatan Ijab dan Qabul yang
menimbulkan akibat hukum dari bentuk kegiatanya, yakni pihak pemilik
modal menyatakan kehendaknya dalam menyerahkan modalnya berupa hewan
kambing kepada orang yang bisa dan setuju menjalankan kegiatan usaha
gaduh kambing, kemudian dari perikatan tersebut menimbulkan akibat hukum
dari perjanjian perikatan terhadap objeknya.
Bentuk
perjanjian dibagi menjadi 2 macam yakni perjanjiaan dalam bentuk
tertulis dan perjanjian dalam bentuk lisan. Dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 282, disebutkan bahwa Allah SWT menganjurkan kepada
manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri
oleh saksi-saksi, dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan
perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain itu, dianjurkan pula apabila
suatu perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang
suatu benda sebagai jaminannya.
Berdasarkan
hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan, penulis mendapatkan
bahwa dalam pelaksanaan gaduh hewan kambing dalam bentuk perjanjiannya
sebagian besar antar para pihak melakukan perjanjian dalam bentuk lisan,
hal tersebut dilakukan karena kerja sama pada prinsipnya semata-mata
hanya sekedar tolong menolong sesama manusia dalam bidang ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam isi perjanjian lisan, yang
dilakukan oleh para pihak yang melakukan kegiatan usaha gaduh kambing
tersebut mengadung prinsip yang mempunyai nilai nilai ilaihah sebagai
berikut:
· Asas kejujuran.
Dalam
menjalankan kegiatan gaduh kambing tersebut dimana kedua belah pihak
jujur dan bertanggung jawab antar kedua belah pihak kepada Allah SWT
dan kepada masyarakat.
· Asas Kebebasan
Membebaskan
kedua belah pihak dalam menjalankan kegiatannya sesuai dengan hak dan
kewajiban yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak.
· Asas Keadilan
Keseimbangan
antar individu dari kedua belah pihak baik moral atau materiil.
Dituntut untuk melakukan hal yang benar dalam pengungkapan kehendak dan
keadaan.
· Asas kerelaan
Kegiatan
usaha ini dilakukan oleh para pihak atas dasar rela tidak ada paksaan
oleh pihak lain, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Perjanjian
lisan tersebut dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan firman Allah SWT
dal Al-Qur’an Surat Al-Hadid ayat 4, sebagai berikut:
Artinya: “Dia bersama kamu dimana kamu berada dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
C. KESIMPULAN
Dari
uraian yang penulis kemukakan diatas berdasarkan hasil penelitian
tentang bagi hasil gaduh kambing dalam pandangan hukum islam di
Kelurahan X Kecamatan X Kota X, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa
hal diantaranya :
1. Dalam sistem bagi hasil gaduh hewan kambing didesa X Kecamatan X dalam konsep ajaran Islam menerapkan sisterm mudaharabah.
Hal ini dapat terlihat pada aplikasi perikatan dari akad perjanjian
antara pemilik hewan kambing dan orang yang memelihara kambing sebagai
objek dalam akad perjanian tersebut. Modal berupa kambing serta
fasilitasnya berasal dari pemilik modal, sedangkan dalam
proses pemeliharaan perawatan dan pemberian pakan ternak adalah
sepenuhnya tanggung jawab dari pemelihara kambing. Sedangkan untuk
perhitungan keuntungan dari pemeliharaan hewan kambing tersebut
menggunakan akad sistem bagi hasil dari pengembangbiakkan hewan
tersebut. Pembagian keuntungan dapat bernilai uang dari hasil penjualan
dan dapat juga berdasarkan kepemilikan atas hewan kambing sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
2. Bahwa
hukum Islam memandangi persoalan bagi hasil gaduh hewan kambing
diperbolehkan karena dari bentuk kegiatan dan unsur-unsur perikatan yang
terdapat pada akad perjanjian sudah jelas.dan banyak sekali manfaat
yang dapat diambil dari transaksi tersebut, seperti nilai tolong
menolong antar sesama (ta’awanu) dan nilai-nilai persaudaraan (ukhuwah)
serta dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan meningkatkan
perekonomian masyarakat yang umumnya pihak yang melakukan kegiatan usaha
gaduh kambing, Namun demikian dalam observasi yang penulis lakukan
ternyata masih ada kesenjangan antara teori hukum Islam dan aplikasi
yang terjadi pada Kelurahan X Kecamatan X Kota X yaitu dalam hal
pemenuhan akad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Auda “ Atasyri Al dinan’I Al Islami, Daar Fikr, Bairut, 1968.
Departemen Agama RI. Qur’an Dan Terjemanya, Yayasan Penerbit Al-Qur’an Bandung, 2006.
Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kencana, Jakarta. 2007
Helmi Karim, Fiqih Muamalah, Gema Insan, Jakarta, 2000.
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 10, Penerjemah, Kamludin A. Marzuki, Al Ma’arif, Bandung, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar