Selamat datang diblog ini semoga bermanfaat bagi kita semua

Jumat, 27 November 2009

madzhab

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.

[sunting] Dasar-dasar

Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.

  1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
  2. Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
  3. Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
  4. Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.

Lihat pula: Ijtihad

[sunting] Qaul Qadim dan Qaul Jadid

Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang lama").

Ketika kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang baru").

Imam Syafi'i berpendapat bahwa tidak semua qaul jadid menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan, dan keduanya tetap dianggap berlaku oleh para pemegang Mazhab Syafi'i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar